TEMPO Interaktif, Bandung - Ganggang bisa menjadi bahan bakar alternatif berupa bioetanol. Tanaman di air tawar dan payau itu lebih unggul dibanding bahan etanol yang terbuat dari singkong, ubi, atau jagung. Hasil penelitian mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut dinobatkan sebagai juara pertama lomba karya ilmiah ilmu hayati nasional di Institut Teknologi Bandung akhir pekan lalu.
Tim juara pertama yang beranggotakan Sulfahri dan Siti Muslihah dari Jurusan Biologi dan Teknik Lingkungan ITS Surabaya itu mengangkat riset tentang penggunaan ganggang jenis Algae Spyrogyra untuk bahan bakar alternatif berbentuk etanol. Dengan penambahan enzim-enzim alfa amilase dengan lama waktu fermentasi tertentu, mereka membuktikan tanaman ganggang bisa menjadi bahan bakar yang murah.
Menurut anggota dewan juri, Pingkan Adityawati, enzim alfa amilase biasa dipakai untuk proses pembuatan bioetanol dari bahan singkong, ubi, atau jagung. Kali ini, enzim tersebut dicoba pada ganggang. "Penelitian mereka sudah dekat untuk diterapkan," ujar dosen Pinkan yang juga dosen ITB itu.
Sulfahri dan Siti Muslihah sengaja tidak memilih singkong, ubi, dan jagung sebagai bahan etanol karena akan mengganggu pola konsumsi masyarakat. Sebagai gantinya, mereka melirik Algae Spirogyra. Jenis ganggang yang bisa tumbuh di air tawar dan payau itu terbukti punya kandungan karbohidrat yang tinggi. Perkembang biakannya pun bisa sangat cepat.
Jika dibandingkan, untuk menghasilkan bioetanol sebanyak 1 liter, dibutuhkan 8 kilogram ubi jalar, atau singkong 6,5 kilogram, atau 5 kilogram jagung. Dengan alga itu, cukup 0,67 kilogram saja.
Agar didapat hasil yang memuaskan, mereka juga menghitung waktu terbaik lama fermentasi alga dengan enzim. Kadar bioethanol tertinggi 9,32 persen diperoleh pada hari ke-10 dengan penambahan enzim amilase sebanyak 0,06 gram.
Ganggang jenis lainnya mengantar Tim Universitas Indonesia sebagai pemenang kedua. Tangguh Wijoseno, Aditya Rinus P Putra, Muhammad Iqbal, Faris Najmuddin Zahir, dan Haafizh Izzatullah menawarkan generasi ketiga teknologi alga. Mereka memanfaatkan nutrien limbah tahu sebagai medium pertumbuhan mikroalga Chlorella Sp.
Langkah itu, ujar mereka, untuk mengurangi masalah pemanasan global, pencemaran lingkungan, sekaligus pemenuhan biofuel untuk mendukung program energi campuran di Indonesia pada 2025.
Saat ini jumlah industri tahu di Indonesia mencapai 84 ribu unit usaha dengan kapasitas 25,6 juta ton per tahun. Massa jenis limbah tahu itu sebanyak 1,3 kilogram per liter. Total volume limbah tahu di Indonesia 5 juta lebih kilo liter per hari.
Dari penelitian itu, kultur Chlorella vulgaris dengan limbah tahu berpotensi menyerap gas karbondioksida. Setiap tahunnya bisa mengurangi 1,7 miliar kilogram CO2.
Adapun juara ketiga diraih Mardhatillah Sariyanti dari Universitas Indonesia tentang kloning gen Early-7 Human Papillomavirus Tipe 16. Juara pertama hingga ketiga mendapat hadiah uang sebesar Rp 7, 5, dan 3 juta.
Sebelumnya pada penyisihan tahap pertama, dewan juri meloloskan 7 finalis dari 20 peserta. Penilaian tahap dua dilakukan Sabtu (12/2) lalu di ITB. Kompetisi National Life Science Competititon yang digelar perdana oleh Himpunan Mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Nymphaea ITB ini ingin mencari penelitian baru asli karya mahasiswa yang kreatif, inovatif, dan hasilnya bisa dipakai masyarakat.